JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan B Najamudin meminta Pemerintah untuk segera mengevaluasi atau mencabut aturan pelarangan ekspor Crued palm oil (CPO) yang diteken presiden Joko Widodo sejak April lalu.
Hal ini disampaikan Senator asal Bengkulu itu setelah mendapatkan keluhan dari puluhan kepala desa se-provinsi Bengkulu yang merasa sangat dirugikan oleh kebijakan tersebut.
"Sejak awal kami sudah mewanti-wanti bahwa, kebijakan ekonomi yang tidak dihitung secara matematis ini akan sangat berdampak langsung pada petani dan daerah penghasil sawit. Sekarang dampak buruk kebijakan ini semakin sistemik baik pada petani hingga kita harus kehilangan pasar ekspor yang kecewa dengan kebijakan pemerintah ini", ungkap Sultan melalui keterangan resminya pada Sabtu (14/05).
Menurutnya, kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan harga minyak goreng di pasaran domestik ini belum kunjung terasa dampaknya secara efektif, dan justru semakin memperumit masalah. Harga minyak goreng tak kunjung turun signifikan ke harga semula dan nilai tukar petani sawit juga harus merana.
"Enough is enough, pemerintah sebaiknya segera mengevaluasi kebijakan ini. Jika ingin menindak para mafia yang berlindung di balik nama besar korporasi dan birokrasi, Pemerintah hanya harus memperbaiki tata niaga sawit secara sistematis sejak di sisi hulu, terutama soal dominasi kepemilikan lahan sawit dan mereformasi manajemen lembaga-lembaga terkait dengan sawit", tegas mantan Wakil Gubernur Bengkulu itu.
"Kita tak ingin tiga juta petani mandiri yang mengelola 6,88 juta hektare di daerah-daerah penghasil sawit kehilangan harapan dan meninggalkan profesinya sebagai petani sawit akibat harga TBS yang masih murah. Sementara di saat yang sama inflasi kebutuhan pokok terus melambung tinggi", urainya.
Lebih lanjut Sultan menerangkan bahwa rata-rata produksi sawit milik petani perharinya berkisar 157,3 ribu ton. Jika produksi itu dihambat dengan kebijakan yang menyebabkan TBS tidak diserap pabrik, maka petani bisa merugi Rp 550 miliar per hari.
"Indonesia bahkan kehilangan market share dan penerimaan devisa ekspor dalam jumlah yang tidak sedikit. Artinya dalam jangka panjang, kebijakan ini berpotensi menjadi bumerang bagi reputasi Indonesia sebagai negara penguasa pasar CPO dan minyak goreng dunia", tutupnya.
Menurut informasi yang diperoleh pihaknya, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT. Karya Sawitindo Mas (KSM) Bengkulu mengklaim, sejak sebelum lebaran hingga (10/5) tak kunjung menjual produksi crude palm oil (CPO) miliknya.
Alasannya, belum ada permintaan dari pihak pembeli CPO. Sehingga kini stok CPO di tangki timbun pabrik tersebut mencapai 2.223 ton.MHD
No comments:
Post a Comment