Oleh Agustinus Edy Kristianto, Ekonom Pegiat Sosial Media
Beberapa orang bertanya pendapat saya tentang nasib saham Gojek-Tokopedia yang harganya hancur (Rp194/lembar per penutupan sesi 1 Jumat, 13 Mei 2022).
Mereka mengacu tulisan-tulisan saya sebelumnya tentang potensi skandal di balik aksi korporasi tersebut. Anda bisa lihat sendiri sekarang, fakta membuktikan barang ini bermasalah!
27 Mei 2022 nanti, Telkom akan RUPS. Kita lihat sandiwara apa yang akan dimainkan.
Tapi, saya ingatkan, kita jadi orang bodoh yang melihat kenyataan apa adanya saja. Tak butuh dibilang pintar seperti analis atau influencer saham. Tak butuh pengakuan bak manajer investasi handal. Tak perlu memandang kejauhan dengan bahasa selangit macam yang diocehkan Presiden Jokowi dulu: unicorn dkk (disrupsi, sharing-economy, valuasi dsb!).
Tak perlu berlagak keluarkan analisis macam pengetatan moneter AS biang keladi anjloknya GOTO.
Jangan ikut-ikutan pembenaran untuk membungkus bau amis. Banyak yang hanya merangkai cerita untuk berkelit dari fakta kerugian dan kesalahan. Sesungguhnya mereka tak peduli dengan kejujuran dan etika dalam berbisnis, prinsip investasi yang wajar dan patut, literasi publik, Good Governance, dsb.
Kita, yang bodoh ini, akan disepelekan dengan bahasa "tidak paham market", "investasi adalah jangka panjang", "koreksi sebentar", "valuasi di masa depan yang dikejar", "tulang punggung ekonomi rakyat kecil", "ekosistem digital di tengah disrupsi ekonomi".
Prett! Sadar atau tidak, banyak orang di Indonesia yang kelihatan kaya dan pintar yang sesungguhnya cuma makan dari utak-atik istilah macam itu.
Fokuslah pada sejarah/rekam jejak, janji Jokowi tentang unicorn, dugaan konflik kepentingan Menteri BUMN dan kakaknya (Boy Thohir) yang pemegang saham sekaligus komisaris GOTO, angka kerugian seperti terlihat di grafik/chart atau laporan keuangan, dan duit APBN yang digunakan sebagai 'leverage' (daya ungkit).
Serugi apapun Telkom berinvestasi, hukum Indonesia adalah ayam sayur. KPK yang dibangga-banggakan dahulu sebagai anak kandung reformasi adalah contoh paling tepat untuk dimajukan sekarang. Apa yang terjadi di GOTO sekarang, sama saja prinsipnya dengan investasi Telkom di PT Tiphone Mobile Indonesia, Tbk (TELE).
APBN keluar Rp1 triliun lebih untuk akuisisi 24% saham TELE (via anak Telkom, PT PINS), lalu rugi. Laporan Tahunan TLKM 2021 masih mencantumkan adanya pengakuan atas penurunan nilai investasi Rp485 miliar berikut kelangsungan usaha TELE. Tapi di Laporan Kuartal I 2022, barang itu hilang entah ngumpet di mana.
Hati-hati potensi skandal rekayasa laporan keuangan!
Orang enak saja bilang, kerugian adalah risiko investasi. Masak investasi mau untung terus. Tamparlah mulut manusia yang nyerocos begitu.
Faktanya, tahun 2020, KPK melakukan penyelidikan kasus itu. KPK ambil alih dari Kejaksaan Agung, karena kasusnya mangkrak sejak 2015. Si Dirut PINS sudah pernah diperiksa KPK pada Desember 2020, tapi tak ada lagi kelanjutannya sampai sekarang.
Belakangan, Tirto.id melaporkan seorang Deputi Penindakan KPK kedapatan menjadi 'konsultan hukum' untuk mengamankan perkara itu. Dia bertemu dengan pihak yang sedang berperkara dan memberikan nasihat-nasihat.
Kesimpulan saat ini: duit Rp1 triliun tidak jelas ke mana, tidak ada yang dihukum atas dugaan korupsi kasus itu karena kemungkinan KPK masuk angin, Telkom baik-baik saja reputasinya, pengurus perusahaannya tetap dapat gaji, fasilitas, dan tantiem miliaran rupiah.
'Hadiah hiburan' lainnya malah mantan Jubir KPK Febri Diansyah, yang kini juga berpraktik sebagai advokat, diangkat menjadi Komisaris anak perusahaan TLKM, PT Global Sukses Solusi Tbk (RUNS).
Sorry, bro Febri. Meskipun tak ada kaitan dengan kasus Tiphone, tapi hadiah itu menjadi catatan memalukan. Orang mengukur hanya segitu kelas anda.
Soal GOTO, kita tak perlu ribet. Jangan dipikir masalah selesai dengan kecanggihan analisis valuasi berbasis Gross- Merchandise Value ala orang-orang pintar itu.
Jangan kira perkara kelar dengan utak-atik Stochastic, Bollinger Bands, Fibonacci dkk. Jangan anggap para mentor dan tokoh yang bicara digital economy, disruption dan sejenisnya itu adalah solusi, padahal mereka adalah bagian dari sandiwara.
Simpel saja, Gojek diback-up sejumlah investor institusi/korporasi. Salah satunya Astra, yang merupakan produsen kendaraan, suku cadang, lembaga pembiayaan, asuransi dsb. Modal sahamnya Rp1/lembar. Modal disetornya Rp1 triliun. Presiden Komisarisnya kakak Menteri BUMN. Komisaris Tokopedianya (teman merger) mantan Menteri Pariwisata Wishnutama Kusubandio (kini Komisaris Utama Telkomsel).
GOTO dapat duit dari Telkomsel Rp2,1 triliun (16 November 2020). Bungkusnya Obligasi Konversi (CB) tanpa bunga tenor 3 tahun. Tanggal 18 Mei 2021, Telkomsel beli lagi Rp4,2 triliun. Di harga US$5.049/lembar (Rp73,7 juta/lembar kurs hari ini).
Lalu GOTO IPO (IPO = penawaran saham pertama kali oleh perusahaan kepada publik) dengan bumbu-bumbu dia Decacorn hebat. Orang disuruh beli Rp338/lembar.
Aturan IPO pun sampai diubah demi GOTO. Sekarang ambrol Rp194/lembar. Laporan Keuangan TLKM Q1 2022 mencatat kerugian (unrealized) Rp881 miliar. Orang-orang yang beli di harga IPO pun gigit jari, apalagi yang beli di pucuk Rp442.
Yang tetap untung adalah investor awal (beli di Rp1/lembar). Salah satunya kakak Menteri BUMN yang pegang 1 miliaran lembar. Bagi mereka, harga boleh turun, tapi mereka punya strategi exit lain untuk cuan. Bisa gadai/repo, yang penting duit mereka terima sesegera mungkin.
Gadai/repo kebal aturan lock-up, karena hukum di Indonesia banyak celahnya soal gadai/repo ini dan mereka sudah punya jaringan/dealer untuk mengatur itu semua.
Kesimpulan sederhana: Telkomsel keluar duit nyata triliunan rupiah untuk GOTO, sekarang dia pegang kertas berisi harapan dan janji GOTO. Kenapa Telkomsel mau kasih duit ke GOTO dan bukannya ke startup lain, dugaan saya karena ada faktor Menteri BUMN tadi.
Dugaan konflik kepentingan dan nepotisme itu sudah saya laporkan ke KPK, tapi Anda tahu sendiri, ini Indonesia, bung! Laporan ditolak untuk ditindaklanjuti.
Tapi mau rugi, harga saham anjlok, ritel nyangkut sekalipun, persis sama seperti kasus Bukalapak (BUKA), hadiah tetap ada buat yang dekat dengan kekuasaan.
Hadiah pertama adalah tepuk tangan dari 10 menterinya Jokowi ketika BUKA IPO.
Hadiah kedua adalah jabatan direksi Telkom bagi pendiri dan pemegang saham BUKA Fajrin Rasyid.
Hadiah ketiga adalah jabatan Mendikbud bagi pendiri GOTO karena dianggap dia bakal jadi transformator teknologi pendidikan padahal nol besar bahkan ketika pandemi ketika terobosan teknologi justru dibutuhkan.
Hadiah keempat jabatan Menteri Pariwisata yang dilanjutkan dengan Komisaris Utama Telkomsel teruntuk Wishnutama.
Kesimpulannya: Anda bikin start-up harus dibarengi dekat dengan kekuasaan. Mau rugi atau untung, Anda tetap beruntung. Anda tetap dapat tantiem Rp20-an miliar dari jabatan publik.
Itulah hukum yang berlaku selama Jokowi memimpin, yang sebagian orang bangga-banggakan sebagai pemimpin hebat.
Jadi, selama pemerintah masih berpikir untuk menyokong oligarki teknologi itu maka jangan harap bangsa ini maju. Yang maju dan gemuk adalah kantong mereka. Siapa mereka?
Saya pakai istilah Jokowi sendiri dalam artikel Revolusi Mental di Kompas dahulu: komprador ekonomi. Semacam makelar. Semacam calo. Yang melayani kepentingan investor kakap di atasnya.
Anda perlu tahu. Memang NKRI punya 52% saham TLKM, tapi sisanya punya siapa? Ini yang saya kutip dari Market Screener: The Vanguard Group Inc, Blackrock Fund Advisors, Harding Loevner LP, JP Morgan Asset Management (Asia Pacific) Ltd, Vontobel Asset Management.
Jargon GOTO memang "Karya Anak Bangsa". Tapi pemiliknya adalah Alibaba, SVF GT Subco Singapore Pte. Ltd dkk.
Lembaga Pengelola Investasi (LPI) dibiayai APBN Rp75 triliun per tahun dan sudah taruh Rp3 triliun di Mitratel. 71,9% saham Mitratel memang milik Telkomsel. Tapi di dalamnya ada lagi makhluk-makhluk ini: Blackrock Investment Management, Kayne Anderson Rudnick Investment Management LLC, Fiera Capital Ltd dkk.
Siapa Blackrock itu? Dia perusahaan manajemen aset terbesar di dunia. Kelolaannya per 2021 adalah US$10.000 miliar.
Terakhir, perkembangan terkini, ada berita gagah berjudul: "Jokowi akan Bertemu dengan Konglomerat di AS, Luhut ikut mendampingi."
Yang ditemui pertama kali adalah CEO Air Products Seifi Gashemi. Blackrock dan JP Morgan adalah pemegang saham Air Products juga.
Apa kaitannya dengan GOTO? Tidak ada! Hanya model mainnya sama, cuma ini urusan batu bara.
Pabrik Air Products sudah ada di Cikarang. Jualannya adalah energi hijau. Batu bara yang energi hitam diubah menjadi hijau pakai teknologi mereka.
Sementara Menko Marives adalah pengusaha batu bara (10% saham TOBA). Kakak Menteri BUMN juga pengusaha batu bara. Dubes Indonesia untuk AS juga pengusaha batu bara---yang sukses mengawal UU Cipta Kerja, yang kita tahu sendiri macam apa muatannya.
Pertemuan lain kabarnya dengan Elon Musk, pemilik Tesla. Ini urusan mobil listrik, bukan urusan sidang Amber Heard. Apa kaitan dengan GOTO? Ada. Sebab TOBA dan GOTO bikin Electrum (industri kendaraan listrik). Ada pejabat Kantor Staf Kepresidenan juga yang sudah bikin PT mobil listrik.
Sabetan lain, kelihatannya soal bursa kripto. Tahu sendiri bagaimana belakangan ini keganasan bantingan kripto di market, kan. Bursa kripto juga isu yang amat didorong petinggi Golkar.
Kesimpulan: namanya kunjungan kenegaraan, biayanya dari APBN, ketemunya ada urusan dagangan pribadi/kelompok juga.
Kalau tidak urusan dagang kelompok itu, Jokowi akan pikirkan kenapa harga migor 'sukses' mencapai Rp14 ribu (TAPI per 1/2 liter), harga gas 12 kg naik jadi Rp200 ribu, harga deterjen melonjak, 97% UMKM bangkrut karena pandemi, pengangguran meningkat, harga TBS petani anjlok, ancaman inflasi tinggi di depan mata….
Dalam situasi kacau begini, anehnya, dia malah makin sayang dengan boneka-boneka oligarki dan menikmati semua sandiwara yang dimainkan itu. Tak ada satu pun yang dihukum/dipecat. Itu artinya Jokowi membenarkan kelakuan mereka.
Itu artinya ia satu kapal, satu tujuan dengan mereka!
Makin terang siapakah dia sesungguhnya.
Sumber foto: TVOne YouTube Channel
No comments:
Post a Comment