Oleh Ishak Salim

Ishak Salim
Mengobrol dengan sesama orang dengar saya sudah biasa. Saya hidup dalam lingkungan di mana orang-orang dengar adalah dominan dan yang utama. Semasa kecil, rasanya saya tak punya kawan yang tuli. Besar sedikit, mulai ada satu dua orang kukenali bahwa di sekitarku, bahkan dalam lingkungan keluarga, ada yang dibilang 'banta'' atau tuli. Sesekali mengobrol dengan mereka membutuhkan usaha. Tak sedikit saya menemukan ada saja orang-orang yang mengejek dan malah menjadikan teman tuli ini sebagai objek candaan.
Saya sangat-sangat jarang berinteraksi dengan teman tuli. Jika mengobrol dengan tuli, saya merasa mudah berpura-pura paham apa yang coba dibilangnya. Belakangan, ketika mulai memiliki teman-teman tuli, saya mulai membiasakan diri memfokuskan pada apa yang coba ia sampaikan dan meminta ia mengulangnya ketika saya belum cukup paham apa yang sudah disampaikan. Saya tidak ingin mengambil kesimpulan jika belum paham. Saya lebih suka ia mengulangnya. Beberapa teman tuli juga bersedia memberi usaha lebih untuk membuat kita--yang orang dengar ini--lebih paham. Sekarang, banyak Tuli menggunakan handphone dan aplikasi yang memudahkan obrolan atau bahkan komunikasi yang lebih kompleks. Sering teman-teman tuli saya menuliskan di hapenya apa yang ingin ia sampaikan agar saya tidak salah mengerti dan obrolan bisa berlanjut.

Bersama Ismail di Sigab
Kawan tuli saya yang pertama kali mengobrol lama adalah Mas M Ismail Bruuna, ia bisa dibilang hard of hearing atau kemampuan pendengaran yang sangat kecil. Ia membutuhkan alat bantu dengar yang bisa membuat kemampuannya menangkap suara bisa lebih besar. Ia juga bisa mengucapkan kata-kata. Ia melewati masa berlatih bicara yang panjang sehingga bisa berucap setidaknya lebih memudahkan saya dengan pendengara yang saya punya menangkap maksudnya.
Kawan Tuli lainnya adalah Ekawati Liu. Saya bertemu dengannya sekitar akhir 2013 atau awal 2014 lalu. Saya sudah lupa pada pertemuan apa, tapi mungkin ada kaitannya dengan program The Asia Foundation. Eka Tuli dan seperti Mas Mail, ia juga melewati masa berlatih yang panjang untuk bisa berucap seperti kebanyakan orang. Kadang saja suaranya lebih keras ketimbang Mas Mail. Mungkin ini ada kaitannya dengan suku, di mana Mas Mail orang Solo dan Eka ada kultur Bataknya. Eka seorang yang terpelajar. Ia saat itu telah menyelesaikan studi masternya di Amerika dan tak lama kemudian dia melanjutkan studi doktoralnya di Australia.

Bersama Ekawati Liu dan Bambang Ramadhan di Bulukumba
Saat berkomunikasi dengan Eka dalam sebuah diskusi dengan beberapa orang, saya melihat dia menggunakan alat seperti mesin ketik khusus. Waktu itu saya kurang tahu fungsinya. Tapi itu membuatnya mudah menyampaikan pesan. Jeda obrolan tidak lama. Jika mengobrol berdua, kita mesti berhadap-hadapan. Ia mampu membaca bibir kita saya berbicara. Kalau diskusi, di mana terkadang posisi kita berjauhan atau tidak berhadapan dengan lurus membuat pesan tidak semudah berhadapan sampai. Itulah ia membutuhkan juru bahasa isyarat atau aplikasi yang memungkinkan ia menangkap pesan teman obrolannya. Sekarang, tidak seperti 2014 lalu, banyak Tuli menggunakan aplikasi voice to text, di mana setiap kata yang diucapkan oleh orang dengar, dapat ditransfer menjadi tulisan yang ditampilkan di layar hape. Memang belum canggih, semisal bisa sampai memberkan tanca baca. Barangkali ada aplikasi yang berbayar mahal yang mampu melakukannya.
Belakangan, di masa Covid, saya bekerja beberapa kali dengan Eka, dan saya bisa mengobrol dengannya dengan baik. Ia bisa berbahasa isyarat, dan saya bisa menggunakan beberapa isyarat dan abjad. Dia fasih membaca bibir. Saya hanya perlu bicara sewajarnya saja tanpa harus memonyong-monyongkan mulut dengan maksud memperjelas--padahal malah tidak jelas. Tidak seperti kebanyakan tuli yang tidak terbiasa menulis, kata-kata Eka teratur, mengikuti kultur ucapan orang dengar, dengan pengaturan subjek predikat, objek dan kata keterangan yang sangat baik--menurut versi orang dengar. Sementara banyak tuli yang memilih mengikuti kultur Deaf dalam menulis, di mana seringkali struktur kata atau kalimatnya tidak sesuai dengan kultur orang dengar. Tapi, biasanya, jika kita berkomunikasi secara tertulis seperti whatssapan, ketidakberaturan versi orang dengar itu bisa saja kita maklumi, o maksudnya mungkin begini. Jauh lebih banyak menanyakan ulang jika tak yakin atau ingin lebih mengerti maksudnya. Eka bahkan mampu menulis tesis dan disertasi dengan sangat baik, sementara banyak Tuli, dalam menulis membutuhkan asisten penulisan jika ingin tulisannya nyaman dibaca orang-orang dengar--katakanlah dosen-dosennya, koleganya, maupun teman-teman dekatnya.

Hj. Ramlah
Teman-teman Tuli saya terus bertambah. Sejak aktif dalam pergerakan difabel, di Sulawesi Selatan saya bertemu dengan Hj Ramlah Mella yang sangat terkenal dan dianggap ibu para Tuli di Sulsel. Saya sulit memahami ucapannya, jadi saya membutuhkan juru bahasa isyarat untuk bisa mengobrol dengannya. Begitu pula Ibu Faizah yang juga tidak bisa saya pahami ucapannya, dan saya membutuhkan juru bahasa isyarat. Jika tak ada, saya akan tetap berupaya mengobrol dengan memperhatikan ucapan-ucapan isyaratnya, dan jika saya sudah tampak begitu kebingungan, ambil kertas dan pulpen atau tulis di chat.
Teman Tuli yang juga saya temani mengobrol adalah Andi Arfan--sekarang ia ketua Gerkatin Sulsel--menggantikan Ibu Hj Ramlah. Ia juga tahun lalu menjadi mentor belajar bahasa isyarat saya. Kami juga sering bertemu dalam berbagai diskusi. Arfan lama bekerja di toko donat tuli milik ibu Hj. Ramlah dan sepertinya sekarang ia juga atau telah bekerja di tempat lain.
Dari Gerkatin Sulsel ini saya mengenal banyak teman Tuli, seperti Mustaqim, Anggi, Bambang Ramadan, Filemon Aloysius Limba, Bu Nini, Andi Kasri Unru, Fitra dan banyak lagi. Bukan cuma di Kota Makassar, tapi juga di daerah-daerah seperti Bulukumba ada Asri Tuli dan istrinya, Halwan, Sandi, Andi Herman, dkk. Kalau bersama mereka kecanggungan sebagai orang dengar yang kurang paham berkomunikasi dengan bahasa isyarat sudah jauh berkurang. Intinya sebenarnya adalah interaksi, untuk bisa mengobrol, tidak melulu harus bersandar pada kata-kata, tapi juga mimik atau ekspresi wajah. Tak perlu canggung, feeling happy saja.

Bersama Akas di Jogja
Dalam gerakan Tuli dikenal konsep audism, yakni sikap dan pikiran orang dengar (audi) yang measa superior ketimbang Tuli. Itulah mengapa banyak hal terutama di sektor pendidikan di mana orang dengar mendesain sistem pembelajaran orang Tuli dengan kultur orang dengar. Sekolah Luar Biasa tipe B yakni khusus Tuli diberi pengantar bahasa yang mereka sebut Sistem Isyarat Bahasa Indonesia, bukan Bahasa Isyarat Indonesia yang secara natural tumbuh dan berkembang di kalangan orang-orang Tuli. SIBI lebih banyak menggunakan standar bahasa orang dengar yang banyak menyulitkan ketimbang memudahkan berkomunikasi. Itulah yang kemudian disebut perlakuan audist, dan ini adalah bentuk relasi kuasa yang masih berlangsung sampai saat ini yang membuat orang Tuli melawan menuntut kesetaraan--anti-audism.
Teman-teman Tuli yang sudah dikenal di level nasional selain dan Mas Mail yang jadi teman saya, juga saya kenal seperti Ibu Rachmita Harahap--pendiri Sehjira dan kini anggota Komnas Disabilitas. Lalu Laura Lesmana--pendiri Pusbisindo dan Surya Sahetapy, yang baru saja menyelesaikan studi masternya di US. Laura adalah putri Ibu Juniati, juga tokoh Tuli yang pernah menjabat sebagai ketua Gerkatin Pusat. Jauh sebelumnya, saya juga kenal Adhie Bharoto, yang ramah dan sangat ekspresif dalam berbahasa isyarat. Saya juga pernah menulis dengan dia di salah satu jurnal difabel yang diterbitkan Sigab. Ia alumni Universitas di Hongkong.
Karena sering ke NTT, saya juga kenal beberapa teman Tuli di sana. Di Bandung kenal dengan Kang Uwen Rukmana.

Saat bersama Teman-teman Tuli Manggarai
Punya teman-teman Tuli itu menyenangkan. Bisa berbahasa Isyarat akan lebih menyenangkan lagi. Saya bangga pada orang-orang dengar yang kemudian mendedikasikan diri menjadi penerjemah bahasa isyarat kepada orang-orang dengar. Saya juga punya banyak teman yang berprofesi sebagai JBI. Mungkin suatu hari nanti saya menulis tentang JBI dan segala pernak-perniknya. Ini butuh riset kayaknya 
Saya setuju jika bahasa ini, yang menjadi bagian dari bahasa Indonesia berdasarkan budaya Tuli Indonesia menjadi bahasa nasional kedua agar sejak kecil anak-anak Indonesia sudah berbahasa isyarat dan anak-anak Tuli tidak lagi dipisahkan sekolahnya, tidak lagi di SLB B tapi sudah bisa di sekolah umum, dan kurikulum bahasa isyarat jika sudah diundangkan mulai disusun dan diterapkan di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.
Sungguh keberagaman Indonesia akan bertambah-tambah dan ekspresi berpengetahuan dari komunitas Tuli baik melalui aktivisme, kerja akademis, maupun kehidupan sehari-hari yang biasa-biasa saja akan semakin terasa wajar dalam kehidupan kita.
Semoga bisa lebih intensif berinteraksi dengan teman-teman Tuli dan bisa punya satu agenda kerja ke depan yang bisa kita lakukan bersama-sama.
Makassar 19 Juni 2023
No comments:
Post a Comment