Ketika mengenal slow living dari konten, saya pikir hidup slow living itu selalu hidup di pedesaan, menanam makanan kita sendiri, tidak banyak kegiatan tapi tetap ada satu dua kegiatan produktif, tanpa gadget (terutama HP yang terhubung internet), meninggalkan media sosial, menikmati tea time atau coffee time, pakai pakaian yang tidak fast fashion, mendaur ulang sampah, bermeditasi, dan segala sesuatu yang intinya meninggalkan hiruk pikuk dunia.
Sudah sekitar satu tahun ini saya memutuskan untuk mengadopsi gaya hidup slow living dalam kehidupan saya sehari-hari. Saya hidup di desa, walaupun banyak kendaraan lewat di depan rumah saya, namun untuk ke Indomaret harus menempuh jarak yang lumayan jauh dan gojek/grab jarang yang berhasil nyangkut.
Saya juga menanam beberapa sayuran (tepatnya bukan saya sih yang nanam, tapi saya yang merawat), tapi tidak terlalu berhasil. Ada cabe, terong, mangga, pisang, kemangi... Terlebih saya ternyata jarang memasak, kalaupun mau masak ya saya beli di kang sayur mobil yang setiap pagi mangkal di perempatan timur rumah.
Soal sampah, terutama sampah plastik, saya belum sepenuhnya bisa mengurangi penggunaan plastik. Jadi, saya tidak concern di sana. Media sosial pun saya sudah lama tidak pakai. Sekedar punya, tanpa aktif. Baru-baru ini saja scrolling IG, tapi konteksnya cari inspirasi buat pekerjaan. Sudah banyak sekali berkurangg pemakaian sosmed, bahkan melihat status WA saya benar-benar pilih hanya beberapa orang saja yang ingin saya buka story-nya.
Yang jelas kentara penerapan slow living saya adalah saya mengurangi sebanyak mungkin kegiatan yang membuat saya sibuk tapi tidak produktif. Saya berusaha menyelesaikan tugas kantor seefisien mungkin. Saya berusaha mengasuh anak tanpa stress. Saya berusaha tidak punya kegiatan di luar yang memakan energi dan waktu saya, sehingga saya punya banyak waktu luang untuk diri saya sendiri.
Ketika saya punya waktu untuk diri saya sendiri, saya bisa melakukan hal yang seharusnya saya lakukan. Sebagai penulis, tentu saja sebagian besar waktu saya saya gunakan untuk menulis. Saya juga membaca, buku dan artikel. Saya memperbanyak bacaan agar ketika saya menulis baik untuk pekerjaan maupun menulis untuk diri saya sendiri, saya memiliki banyak kosakata dan bahan di kepala saya.
Bagi orang yang bukan penulis, pastinya kegiatan baca tulis yang saya kerjakan kurang ada artinya. Ya karena mereka tidak membutuhkannya. Apalagi di usia saya 30+ ini, rasanya perbincangan tentang anak-anak dan sinetron atau gosip artis/selebgram lebih menarik untuk dibahas. Makanya, karena saya slow livingnya lebih ke menekuni hobi saya sebagai penulis, saya tidak punya banyak teman.
Saya memilih jalan sepi sebagai penulis ini sebagai cara saya menerapkan slow living. Saya merasa hidup saya memelan, ketika saya berhasil membaca beberapa puluh halaman buku tanpa terburu-buru. Saya merasa slow, ketika saya bisa menulis tanpa gangguan dan jari-jari saya bisa menulis tanpa hambatan. Saya bisa merasakan manfaat slow living ketika saya bisa menikmati setiap moment secara sadar (mindful), dan waktu yang saya lewati benar-benar bermakna.
Saya juga merasa slow, ketika bisa membersamai anak-anak saya bermain, belajar, bercanda... Kebanyakan konten slow living yang saya lihat di youtube, mereka hidup sendirian tanpa anak-anak, kadang juga tanpa pasangan. Pekerjaan mereka juga biasanya memang membuat konten (content creator), sehingga yang mereka rekam di konten itu ya bagian dari pekerjaan sehari-hari mereka.
Lalu, orang seperti saya yang memiliki pasangan dan anak, serta memiliki pekerjaan tetap (kreator konten juga sih, tapi kontennya buat perusahaan), apakah tidak bisa menerapkan slow living? Ya tentu bisa. Slow living masing-masing orang itu berbeda wujudnya, sehingga saya bisa menyimpulkan bahwa yang terekam di kamera kreator konten yang mengangkat tema slow living itu bukanlah hal yang bisa ditelan bulat-bulat dan dipraktekkan seutuhnya seperti itu.
Sesuaikan saja dengan kehidupan Anda sendiri. Misalnya Anda guru, masa iya Anda cuman mau rebahan, menikmati kopi. Atau menanam sayuran terus, tapi nggak bikin RPP atau isi raport. Jadi, meski Anda guru, saya yakin ada sebagian kecil dalam kehidupan Anda yang bisa dibikin memelan. Misal di waktu luang Anda, Anda bisa membaca tentang tema anak-anak, dekat dengan profesi Anda sebagai guru. Jangan sampai profesi atau kondisi Anda menyurutkan langkah Anda untuk memulai gaa hidup slow living.
Slow living versi saya, saya berusaha menerapkan rutinitas seperti ngopi 2x sehari. Baca buku beberapa lembar. Menulis minimal seminggu sekali di blog seperti ini. Atau sesimpel duduk nggak ngapa-ngapain sekitar 30 menit untuk mendengarkan inner voice yang seringkali rusuh di kepala saya. Saya mendengarkan, dan memilah mana yang harus saya pertahankan, mana yang harus saya buang.
Begitulah cara saya menerapkan slow living. Belum bisa terekam kamera seperti kreator konten yang kerjaanya menanam sayur, membuat kompos, memasak makanan sendiri, menikmati coffee time dengan kudapan yang dibuat sendiri. Waktu saya belum cukup untuk melakukan itu, apalagi sampai merekamnya. Balik lagi, saya punya pekerjaan tetap sebagai penulis, yang menuntut saya untuk bekerja setiap hari kerja (kadang weekend pun diisi dengan brainstorming ide konten), saya punya 2 anak laki-laki usia 6 dan 2 tahun (bayangkan sendiri repotnya), dan saya punya pasangan yang juga harus saya urus (haha).
Kalau Anda, bagaimana caramu menerapkan slow living?
Indriani Taslim
No comments:
Post a Comment